Hampir semua insiden selalu menghasilkan biaya pemulihan dan biaya penyelesaian yang tidak sedikit. Bahkan terkadang akibat munculnya biaya-biaya ini, sebuah kegiatan usaha dapat berakhir dengan tragis. Apalagi, jika yang terkena dampak secara signifikan adalah masyarakat yang berada di sekitar kegiatan usaha yang mengalami insiden.
Hal yang lebih tragis lagi adalah ketika sistem manajemen K3 dan kinerja K3 menjadi bagian penting dari kegiatan usaha tersebut dalam mencapai keuntungan tidak mampu lagi mencegah dan menurunkan laju kerugian yang terjadi.
Kenapa bisa demikian ? Banyak faktor kepemimpinan k3 yang berperan dan berkontribusi pada ketidakmampuan sistem manajemen K3 dan kinerja K3 dalam mencegah/menurunkan terjadinya laju kerugian.
Penulis mengidentifikasi setidaknya ada 3 faktor yang signifikan dan berkontribusi pada kondisi tersebut. 3 faktor tersebut adalah :
Role model adalah pilar utama K3 karena role model adalah aksi nyata atas tulisan dan ucapan. Role model atau panutan memberi dampak pada tumbuhnya kepercayaan (trust), gairah (spirit), dan keinginan (need). Role model selalu “milik” individu yang mempunyai kekuasaan untuk bertindak dan memutuskan.
Dalam organisasi perusahaan, individu semacam ini biasanya dikenal dengan sebutan manajemen. Manajemen ini harus menetapkan kondisi-kondisi kerja seperti apa yang harus dicapai oleh anggotanya (baca : karyawan) agar tujuan K3 dapat dicapai. Sebagai role model, manajemen harus lebih banyak “mendengar” dibanding “berbicara” agar partisipasi anggotanya untuk memperbaiki kondisi-kondisi kerja agar memenuhi prinsip k3 terus meningkat.
Dengan lebih banyak “mendengar” maka “trust“, “spirit“, dan “need” akan bersemi dengan baik dalam setiap pikiran dan hati para anggotanya. Manajemen juga akan banyak mendapatkan “petunjuk” tentang letak ketidakefektifan dari sistem manajemen K3 dan kinerja K3 dalam mencegah semakin derasnya laju kerugian. Ini karena obyek dan sekaligus subyek dari sistem manajemen K3 dan kinerja K3 ini adalah anggota manajemen atau karyawan.
Pada prinsip “Transformational Leadership“, motivasi intelektual adalah salah satu pilar kunci. Apa itu motivasi intelektual itu ? Motivasi Intelektual adalah peran para leader dalam memberikan “ruang” kepada anggota tim-nya untuk berinovasi dan kreatif dalam memperbaiki kondisi-kondisi kerja dan lingkungan kerja yang tidak sejalan dengan makna K3.
Anggota tim/karyawan diberikan sejumlah “tantangan” oleh leader untuk menemukan cara-cara terbaru yang sederhana, ringkas, dan berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi-kondisi yang menyimpang dari tujuan K3. Leader mendampingi dan sekaligus menjadi “lawan berpikir” dalam diskusi-diskusi yang terjadi diantara anggota tim dalam menciptakan cara-cara baru tersebut.
Sistem manajemen K3 dan kinerja K3 juga tidak “luput” sebagai obyek yang juga diberikan leader kepada anggota tim-nya sebagai “tantangan” untuk dicarikan cara-cara baru guna meningkatkan keefektifannya dalam melindungi aset perusahaan dari meningkatnya laju kerugian dan sekaligus memberikan nilai tambah pada upaya yang meningkatkan efektifitas tersebut.
Ruang berdiskusi ini sebenarnya diperkenalkan oleh Prof Dominic Cooper PhD dalam sebuah artikel di website BSM yang berjudul “Strengthen Safety Leadership“. Tulisan Prof Dominic ini menyoroti “hilang”nya sebuah Talk Opportunity (kesempatan menyampaikan) dan Talk space (Ruang berdiskusi) dalam mengelola potensi-potensi bahaya yang ada dalam kondisi kerja dan lingkungan kerja.
Leader harus mau dan mampu menciptakan “ruang berdiskusi” dibandingkan melanggengkan “ruang perintah”. Ruang berdiskusi akan mendorong anggota tim untuk aktif berperan serta menyusun berbagai langkah-langkah strategis guna menurunkan semua risiko kritikal yang ada dalam kondisi-kondisi kerja dan lingkungan kerja.
Kebijakan untuk mencegah lajunya kerugian tidak lagi dimonopoli oleh individu yang memiliki kekuasaan akan tetapi juga hasil kontribusi dari para anggota tim/karyawan. Leader tidak merasa paling benar dan anggota tim tidak merasa hanya jadi obyek kebijakan semata.
Ada proses 2 arah yang dikembangkan oleh leader untuk mencapai output K3 yang maksimal. Semua “jalan” mencapai output K3 yang maksimal tadi dirumuskqn secara bersama-sama, dijalankan secara bersama-sama, dipantau secara bersama-sama dan dievaluasi secara bersama-sama pula. Intinya ruang berdiskusi ini menciptakan proses dua arah antara leader dan anggotanya untuk mencapai kesepakatan yang produktif dalam upaya mengurangi semua risiko kerugian yang ada dalam kondisi-kondisi kerja dan lingkungan kerja.
Ketiga faktor di atas merupakan kerangka kerja yang fundamental bagi penguatan kepemimpinan K3 para individu pemilik kekuasaan agar kondisi “zero accident” bukan hanya cita-cita yang harus diwujudkan tapi sudah merupakan “buah” yang diunduh setiap hari saat beraktifitas kerja untuk meningkatkan nilai tambah perusahaan.